Islam-ID - Perempuan ini mengawali hidupnya di pedalaman Soppeng, sebuah kecamatan di wilayah Sulawesi Selatan, sekitar 200 kilometer Utara kota Makasar. Begitu terpencilnya, maka ia terbiasa belajar dengan nyala lampu teplok. Bahkan mengangkat batu dan pasir sebelum berangkat sekolah, dan ikut ke sawah untuk bercocok tanam.
Anak kedua dari enam bersudara hasil perkawinan Muhammad Daud (almarhum), dengan Siti Rahman Indang ini dikenal rajin membaca. Maklum, ayahnya guru SD. Lahir dalam naungan rasi Scorpio, tepatnya 8 Nopember 1956.
Kecerdasannya dikenal sejak SD. Ia tak sampai kelas enam, karena begitu menginjak kelas lima ia ikut ujian akhir, dan lulus sebagai juara. Marwah muda kemudian melanjutkan ke SMP Negeri Pacongkang, dan lulus 1970. Selanjutnya ia menginjakkan kakinya ke SPG Negeri Soppeng, Namun di kelas dua dia pindah ke SPG Negeri I Ujung Pandang, lulus tahun 1973.
Era inilah ia mulai menapakkan kakinya ke jenjang yang lebih jauh, entah disadari atau tidak. Di tahun 1974 untuk pertamakalinya dia berkunjung ke Jakarta dan masuk Istana Negara atas undangan Kepala Negara. Ia terpilih sebagai pelajar teladan se Sulawesi Selatan.
Ia banting setir, tidak lagi tergiur mengikuti ayahnya yang menjadi guru. Ia melanjutkan ke Fakultas Ilmu Sosial Politik Jurusan Komunikasi Universitas Hasanudin yang dirampungkannya tahun 1981. Seperti déjà vu, ia kembali terpilih sebagai mahasiswa teladan se Sulawesi dan mengantarnya ke forum nasional di Jakarta, bertemu kepala negara bersama para teladan se Indonesia. Saat itu juga dia sudah mulai terkenal sebagai seorang Aktivisis di kampusnya.
Prestasinya belum berhenti. Ia terbang ke Amerika untuk meraih master di American University, Washington DC, Amerika Serikat, jurusan Komunikasi Internasional, tahun 1982. Tentu saja dengan bea siswa. Namun, sebelumnya ia menikah dulu dengan Ibrahim Tadju, rekan sesama Aktivis semasa kuliah di Ujung Pandang. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai tiga anak, yakni Dian Furqani Ibrahim, Akmal Firdaus Ibrahim dan Bardan Raihan Ibrahim. Di Amerika ia pun mengisi waktunya dengan bekerja sebagai asisten peneliti Unesco, dan Bank Dunia.
Tampaknya ia memang berjodoh dengan Amerika, begitu menggondol master, ia bekerja di BPPT. Habibie, ketua BPPT saat itu, memberinya beasiswa ke Amerika lagi. Di universitas yang sama, ia mengambil Komunikasi Internasional bidang satelit. Ia akhrirnya menyandang gelar doktor di tahun 1989 sebagai lulusan terbaik yang di Amerika Serikat dikenal dengan sebutan Distinction.
Ia kembali tentu saja dengan kemantapan. Doktor di tangan dan Habibie di depan. Tak urung ia terlibat dalam beberapa organisasi seperti ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Saat ini ia menjabat sebagai Sekretaris Umum ICMI. Selain itu, tentu saja ia aktif di Golkar, partai yang membawanya ke gedung parlemen yang sejuk. Polah tingkahnya di dunia politik mulai dilirik ketika Sidang Umum MPR 1998. Waktu itu ia digunjingkan akan meraih kursi di Kabinet Pembangunan IV. Kecakapannya tidak diragukan, ia telah melewati tiga kali masa jabatan DPR. Namun ia gagal.
Kedekatannya dengan Habibie bisa dimaklumi. Catatan hidupnya telah menggariskannya untuk seiring dengan mantan Presiden yang sekarang bermukim di Jerman ini.
Sedangkan Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Golkar, tidaklah memiliki catatan yang bagus di mata Habibie. Ia dituding sebagai biang kerok kegagalan Habibie meraih kursi presiden. Saat itu, Akbar bergerilya dan justru menggandeng Poros Tengah. Maka, bisa ditebak sikap Marwah terhadap Akbar. Anggoro Gunawan-Tempo News Room
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/1618-penantang-akbar-paling-lantang
Copyright © tokohindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar